
Muridan S. Widjojo dilahirkan di Surabaya, 4 April 1967; meninggal dalam usia yang relatif muda, 47 tahun pada 7 Maret 2014, tujuh tahun yang lalu, karena kanker fasofaring yang dideritanya. Dalam tulisan yang saya buat sesaat setelah mendengar Muridan meninggal, saya mengatakan bahwa kecintaannya dengan Papua dan pergumulannya untuk membebaskan penderitaan rakyat Papua itulah yang membuatnya hidup meskipun kanker sedang menggerogoti raganya. Jiwa dan spiritnya bertempur untuk menyelamatkan raganya, meskipun akhirnya tetap tak terselamatkan. Kita tahu jiwa dan spritnya masih bertahan, hidup di benak kita, para sahabatnya, rekan-rekannya di Papua dan orang-orang biasa di Papua yang pernah ditemui dalam berbagai kunjungannya ke Papua. Bagi Muridan Papua bukan sekedar obyek peneltiannya, untuk menulis artikel di jurnal ilmiah dan mendapatkan kredit poin kenaikan pangkatnya sebagai peneliti di LIPI. Papua juga bukan batu loncatannya untuk mencari popularitas agar dianggap sebagai intelektual publik yang berjuang demi Papua. Papua bagi Muridan seperti segala-galanya, bahkan mungkin lebih dari anak dan istrinya yang ia sangat cintai. Kecintaan Muridan kepada Papua, orang-orangnya, melampaui batas-batas percintaan yang bersifat personal, jelas jauh melebihi cinta terhadap sendiri, jika perlu dirinya dikorbankan demi Papua, oleh karena itu ada yang terasa transedental di sana. Sebagai teman yang pertama kali bertemu dengan Muridan di Bandara Wamena di Lembah Baliem, tahun 1993, ketika ia menjemput kami dengan Toyota tua, milik proyek LIPI, dengan tubuhnya yang tampak kurus karena baru sembuh dari malaria yang menyergap tubuhnya; saya sudah melihat ada enigma disana. Enigma itu yang kemudian tumbuh dan membesar dalam jiwanya, dalam spirit pengorbanan yang luar biasa untuk meleburkan dalam percintaan yang hampir-hampir total dengan Papua.
e-Book terkait : https://papua.lipi.go.id/muridan-corner/
Novel ini menceritakan memiliki cerita yang sangat bagus. Bintang lima !
Cerita yang sungguh menyentuh.